
Pendidikan dalam Islam dipahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai/ideologi Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan SDM berkepribadian islami, dalam arti memiliki pola berpikir dan berperilaku islami. Jadi, pendidikan dalam Islam bukan sekadar transfer of knowledge dan tranfer of values, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.
Kurikulum dibangun pada landasan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk pemahaman tsaqâfah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar, tanpa mninggalkan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi (PT), tsaqafah asing, misalnya, ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat diperkenalkan, bukan untuk dilaksanakan, namun untuk dikritisi, dijelaskan, dan dipahami cacat-cela, dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Pada jenjang PT dapat dibuka berbagai jurusan, baik ilmu keislaman, ataupun jurusan lainnya, seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik dll. sehingga peserta didik dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dari model sistem pendidikan Islam seperti ini tidak akan muncul dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi. Dikotomi ilmu itu hanya terjadi pada masyarakat sekuler-kapitalistik, tidak dalam masyarakat Islam. Berkenaan dengan hal inilah generasi yang akan dibentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya dan memahami Islam, serta berkepribadian Islam yang utuh.
Paradigma Sistem Pendidikan Islam
Beberapa paradigma dasar sistem pendidikan Islam, yaitu:
1. Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan akidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
2. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat.
3. Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
4. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.
Agama dan pendidikan menjadi titik sentral, terutama menciptakan Human Resources handal dan berkomitmen nilai Islam. Harus disadari, bahwa pembentukan SDM berkualitas imani bukan hanya tanggung jawab pendidik semata, tetapi juga tanggung jawab para pembuat keputusan politik, ekonomi, dan hukum sangat menentukan.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan merupakan suatu kondisi yang menjadi target penyampaian pengetahuan. Tujuan ini merupakan acuan dan panduan untuk seluruh kegiatan yang terdapat dalam sistem pendidikan. Jadi, tujuan pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:
1. Kepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yaitu teguhnya dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola berfikirnya (aqliyah) dan pola sikapnya (nafsiyah) yang berpijak pada aqidah Islam. Berkaitan dengan pengembangan kepribadian, terdapat tiga langkah pembentukannya, yaitu (1) menanamkan aqidah Islam dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai aqidah aqliyah; aqidah yang keyakinannya muncul dari proses pemikiran yang mendalam. (2) mengajaknya untuk senantiasa konsisten dan istiqamah agar cara berfikir dan mengatur kecenderungan insaninya berada tetap di atas pondasi aqidah yang diyakininya. (3) mengembangkan kepribadian dengan senantiasa mengajak bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu berorientasi pada melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.
2. Handal Dalam Penguasaan Tsaqafah Islamiyah Islam mendorong setiap muslim berilmu dan menuntut ilmu adalah wajib. Adapun ilmu berdasarkan takaran kewajibannya menurut Al Ghazali dibagi dalam dua kategori, yaitu (1) ilmu fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap muslim, yaitu ilmu-ilmu tsaqafah Islam yang terdiri konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumul quran, tahfidzul quran, ulumul hadits, ushul fiqh, dll. (2) ilmu fadlu kifayah, mencakup sains dan teknologi, serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll. Berkaitan dengan tsaqafah Islam, terutama bahasa Arab, Rasulullah saw. telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan urusan penting lainnya, seperti bahasa diplomatik dan interaksi antarnegara. Dengan demikian, setiap muslim yang bukan Arab diharuskan untuk mempelajarinya, karena keterkaitan bahasa Arab dengan bahasa Al Quran dan As Sunnah, serta wacana keilmuan Islam lainnya.
3. Penguasaan ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK). Penguasaan PITEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material, sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullahi di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sain sebagai fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Islam memicu akal untuk dapat menguasai PITEK, sebab dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan. Dalam kitab Fathul Kabir, juz III, misalnya diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir, terutama alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan benteng lawan.
4. Penguasaan skills/ketrampilan tepat dan berdaya guna. Perhatian besar Islam pada ilmu teknik dan praktis, serta keterampilan merupakan salah satu dari tujuan pendidikan islam. Penguasaan keterampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan amanah Allah Swt.
Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan
Dalam Islam, Negara berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah saw. memerintahkan dalam haditsnya:
“Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak, ketika beliau saw. menetapkan tebusan tawanan perang Badar berupa mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Artinya penyedia pendidikan adalah tanggung jawab negara dan dibiayai dari harta baitul mal.
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam maka kita akan melihat perhatian para khalifah (kepala negara) terhadap pendidikan rakyatnya sangat besar demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Rasulullah saw. pernah bersabda:
Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” .
Hadits tersebut memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) untuk memperoleh gaji dan fasilitas, baik perumahan, isteri, pembantu, ataupun alat transportasi. Jika kita membayangkan seandainya aturan Islam diterapkan, maka tentu saja tenaga pendidik maupun pejabat lain dalam struktur pemerintahan merasa tentram bekerja dan benar-benar melayani kemaslahatan masyarakat tanpa pamrih, sebab seluruh kebutuhan hidupnya terjamin dan memuaskan. Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas, jika 1 gram emas Rp. 120.000,00, maka ekuivalen dengan Rp. 510.000,00, sehingga gaji seorang guru adalah 15 (dinar) X Rp. 510.000,00 = Rp. 7.650.000,00 (tujuh juta enam ratus lima puluh ribu). Bandingkan dengan gaji seorang guru besar (profesor) di Indonesia, yaitu Rp. 2.600.000,00 dengan pengabdian 33 tahun. Sungguh ironis.
Perhatian khalifah ternyata bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Bagaimana dengan kita ?
Dana, Sarana, dan Prasana Pendidikan
Media pendidikan adalah segala sarana dan prasarana yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan pendidikan. Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar -audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, majunya pendidikan dalam kerangka untuk mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara. Oleh sebab itu sarana berikut harus disediakan:
1. Perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya di luar yang dimiliki sekolah dan PT untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai bidang ilmu, baik tafsir, hadits, fiqh, kedokteran, pertanian, fisika, matematika, industri, dll. sehingga banyak tercipta para ilmuwan dan mujtahid.
2. Mendorong pendirian toko-toko buku dan perpustakaan pribadi. Negara juga menyediakan asrama, pelayanan kesehatan siswa, perpustakaan dan laboratorium sekolah, beasiswa bulanan yang mencukupi kebutuhan siswa sehari-hari. Keseluruhan itu dimaksudkan agar perhatian para siswa tercurah pada ilmu pengetahuan yang digelutinya sehingga terdorong untuk mengembangkan kreativitas dan daya ciptanya.
3. Negara mendorong para pemilik toko buku untuk memiliki ruangan khusus pengkajian dan diskusi yang dipandu oleh seorang alim/ilmuwan/cendekiawan. Pemilik perpustakaan pribadi didorong memiliki buku-buku terbaru, mengikuti diskusi karya para ulama dan hasil penelitian ilmiah cendekiawan.
4. Sarana pendidikan lain, seperti radio, televisi, surat kabar, amajalah, dan penerbitan dapat dimanfaatkan siapa saja tanpa musti ada izin negara.
5. Negara mengizinkan masyarakatnya untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, mengudarakan radio dan televisi; walaupun tidak berbahasa Arab, tetapi siaran radio dan televisi negara harus berbahasa Arab.
6. Negara melarang jual-beli dan eksport-import buku, majalah, surat kabar yang memuat bacaan dan gambar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Termasuk melarang acara televisi, radio, dan bioskop yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
7. Negara berhak menjatuhkan sanksi kepada orang atau sekelompok orang yang mengarang suatu tulisan yang bertentangan dnegan Islam, lalu dimuat di surat kabar dan majalah. Hasil karya penulis dapat dipakai kapan saja dnegan syarat harus bertanggung jawab atas tulisannya dan sesuai dnegan aturan Islam.
8. Seluruh surat kabar dan majalah, pemancar radio & televisi yang sifatnya rutin milik orang asing dilarang beredar dalam wilayah Khilafah Islamiyah. Hanya saja, buku-buku ilmiah yang berasal dari luar negeri dapat beredar setelah diyakini di dalamnya tidak membawa pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
Demikian pemaparan sistem pendidikan Islam. Sangat jelas keunggulan sistem pendidikan Islam yang diatur oleh syariat Islam. Dengan bersikap objektif terhadap syariat Islam, seharusnya manusia yang jujur, berpikir, dan yang memiliki nurani yang jernih, akan kembali ke syariat Islam. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [
0 komentar:
Posting Komentar