Sebuah laporan baru menemukan, terlalu sedikit perempuan di seluruh dunia terjun dalam dunia politik, dengan perkecualian yang jelas di negara-negara Nordik yang, menurut laporan itu, pada dasarnya menikmati kesetaraan gender.
Tahun lalu, laporan Uni Antar Parlemen (IPU) menemukan jumlah rata-rata perempuan di dunia yang terpilih duduk di kursi parlemen adalah 19,5 persen. Ini lebih tinggi setengah persen daripada tahun 2010, atau satu dalam tiap lima aggota parlemen di dunia saat ini.
Laporan itu menyebutkan dunia Arab punya tingkat rata-rata regional terendah di dunia, yaitu 10 persen, dan jumlah perempuan di pemerintahan tetap sama, yaitu 7 persen, sejak 2005.
Pemberontakan di Afrika Utara dan dunia Arab mengejutkan seluruh dunia. Tetapi, juru bicara IPU, Jemini Pandya, mengatakan peristiwa itu tidak banyak menngoncangkan sistem-sistem politik lama.
“Pemilu baru-baru ini di Mesir menunjukkan persentase perempuan di parlemen turun dari 12,7 persen menjadi di bawah dua persen. Sekarang hanya ada 10 perempuan di parlemen Mesir yang beranggotakan 508 orang. Perempuan merupakan jantung pemberontakan Arab, tetapi peran itu tidak diwujudkan dalam partisipasi politik nyata. Pemberontakan Arab belum memperkuat perempuan dalam dunia politik. Kami merasa kesempatan untuk perubahan ada di sana, hanya harus dipergunakan, paparnya.”
Namun, kajian itu menyebutkan ada beberapa perkembangan yang menggembirakan di Tunisia, yang mensahkan undang-undang yang mendukung kesetaraan dalam pencalonan anggota parlemen. Laporan itu menyebutkan Maroko memperkenalkan kuota untuk perempuan di parlemen, yang menghasilkan peningkatan enam persen jumlah perempuan di parlemen tahun lalu.
Laporan itu menemukan sistem kuota juga menguntungkan perempuan di Sub-Sahara Afrika. Laporan itu menyebutkan di kawasan itu tingkat rata-rata jumlah perempuan yang menduduki kursi parlemen adalah di atas 20 persen. Laporan itu menyebutkan 13 parlemen di benua itu sekarang punya 30 persen atau lebih perempuan yang menjadi anggotanya terutama karena kebijakan khusus, seperti sistem kuota.
Jemini Pandya mengatakan negara-negara yang baru keluar dari konflik kerap menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk memasuki kekosongan politik.
“Lebih dari sepertiga negara di dunia yang punya 30 persen anggota parlemen perempuan adalah negara-negara dalam masa peralihan atau pasca-konflik. Sudan Selatan, contohnya, sekarang punya 26 persen perempuan dalam parlemen peralihannya dan itu terutama karena sistem kuota. Angka itu jauh di atas rata-rata Afrika dan global,” ujarnya lagi.
Laporan IPU itu mengatakan benar atau salah, sistem kuota tetap merupakan jalur yang paling efektif untuk membuat perempuan masuk dunia politik. Para penulis laporan itu mengatakan sampai ada kesetaraan, perempuan akan terus ditolak kesempatannya untuk mendorong perubahan sosial dan ekonomi melalui cara-cara politik Sumber Voa dan andri L
Foto: Reuters
President lLberia Ellen Johnson-Sirleaf. Sistem kuota untuk perempuan di parlemen diberlakukan juga di sub-Sahara Afrika, sehingga jumlah perempuan yang terjun dalam dunia politik di wilayah itu meningkat.
Laporan itu menyebutkan dunia Arab punya tingkat rata-rata regional terendah di dunia, yaitu 10 persen, dan jumlah perempuan di pemerintahan tetap sama, yaitu 7 persen, sejak 2005.
Pemberontakan di Afrika Utara dan dunia Arab mengejutkan seluruh dunia. Tetapi, juru bicara IPU, Jemini Pandya, mengatakan peristiwa itu tidak banyak menngoncangkan sistem-sistem politik lama.
“Pemilu baru-baru ini di Mesir menunjukkan persentase perempuan di parlemen turun dari 12,7 persen menjadi di bawah dua persen. Sekarang hanya ada 10 perempuan di parlemen Mesir yang beranggotakan 508 orang. Perempuan merupakan jantung pemberontakan Arab, tetapi peran itu tidak diwujudkan dalam partisipasi politik nyata. Pemberontakan Arab belum memperkuat perempuan dalam dunia politik. Kami merasa kesempatan untuk perubahan ada di sana, hanya harus dipergunakan, paparnya.”
Namun, kajian itu menyebutkan ada beberapa perkembangan yang menggembirakan di Tunisia, yang mensahkan undang-undang yang mendukung kesetaraan dalam pencalonan anggota parlemen. Laporan itu menyebutkan Maroko memperkenalkan kuota untuk perempuan di parlemen, yang menghasilkan peningkatan enam persen jumlah perempuan di parlemen tahun lalu.
Laporan itu menemukan sistem kuota juga menguntungkan perempuan di Sub-Sahara Afrika. Laporan itu menyebutkan di kawasan itu tingkat rata-rata jumlah perempuan yang menduduki kursi parlemen adalah di atas 20 persen. Laporan itu menyebutkan 13 parlemen di benua itu sekarang punya 30 persen atau lebih perempuan yang menjadi anggotanya terutama karena kebijakan khusus, seperti sistem kuota.
Jemini Pandya mengatakan negara-negara yang baru keluar dari konflik kerap menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk memasuki kekosongan politik.
“Lebih dari sepertiga negara di dunia yang punya 30 persen anggota parlemen perempuan adalah negara-negara dalam masa peralihan atau pasca-konflik. Sudan Selatan, contohnya, sekarang punya 26 persen perempuan dalam parlemen peralihannya dan itu terutama karena sistem kuota. Angka itu jauh di atas rata-rata Afrika dan global,” ujarnya lagi.
Laporan IPU itu mengatakan benar atau salah, sistem kuota tetap merupakan jalur yang paling efektif untuk membuat perempuan masuk dunia politik. Para penulis laporan itu mengatakan sampai ada kesetaraan, perempuan akan terus ditolak kesempatannya untuk mendorong perubahan sosial dan ekonomi melalui cara-cara politik Sumber Voa dan andri L
0 komentar:
Posting Komentar