Saya mempertanyakan ini karena sering kali mendapati orangtua begitu serius ketika terlibat pembicaraan mengenai prestasi yang dicapai anak-anak, akademik maupun non-akademik. Bahkan
tak jarang orangtua saling berlomba memproklamasikan kehebatan anak-anak mereka, dengan mengikuti berbagai kursus dan lomba. Fenomena ini makin terasa sejak maraknya pengembangan sekolah unggul hingga akhirnya muncul tren sekolah bilingual dan kurikulum ganda (nasional dan internasional, mengadopsi kurikulum dari luar negeri). Masalahnya, tren ini dapat mengakibatkan sekolah bukan lagi usaha membimbing anak mengembangkan diri, tetapi menjadi ajang mencapai keunggulan. Lihat saja, hampir semua anak tidak hanya belajar di sekolah. Mereka ikut kursus privat dengan alasan membantu pemahaman materi pelajaran dan kursus non-akademik demi (katanya) pengembangan bakat-minat. Sampai-sampai ada yang nyaris tidak punya waktu bermain karena 7 hari seminggu berkutat dengan sekolah dan beragam jadwal kursus non-akademik, serta masih harus membantu orangtuanya. Saya tidak habis pikir ada orangtua seacuh itu. Ini penghakiman memang, tapi juga fakta karena si anak jelas-jelas mengeluh dan prestasi belajarnya sama sekali tidak terbantu.
Dari sini saya merasa perlu bicara dengan para orangtua (dan juga guru?). "Kenapa Bapak/ Ibu seringkali menilai anak-anak itu malas dan tidak punya motivasi mencapai hasil terbaik?" "Kenapa Bapak/ Ibu selalu meminta anak-anak untuk belajar, bahkan ketika liburan sekolah?" Saya perlu tanyakan ini karena sepengetahuan saya, tak ada orang yang tidak butuh istirahat. Seperti juga kita yang setiap hari bekerja, anak-anak juga perlu istirahat dan rekreasi. Saya juga tidak setuju bila dikatakan mereka malas, karena seperti juga kita semua, hanya akan melakukan sesuatu bila kita mau dan/ atau merasa perlu melakukan itu.
Kebutuhanlah alasan utama mengapa orang berbuat. Maka, kita tidak boleh menyimpulkan seorang anak malas sebelum mengetahui alasan ia berbuat begini atau begitu. Soal sekolah misalnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak anak tidak suka bersekolah. Tapi tidak banyak pembahasan mengapa mereka menjadi tidak suka bersekolah, padahal hampir semua anak mengatakan sekolah itu diperlukan.
Bicara soal kebutuhan, kenyamanan adalah kebutuhan utama semua makhluk. Kita tidak akan dapat melakukan apapun dengan hasil memuaskan ketika kita tidak dalam kondisi nyaman, fisik maupun psikis. Oleh karenanya, kita akan melakukan segala upaya untuk mendapatkan kenyamanan. Coba saja: kita tidak dapat bekerja optimal ketika kita sedang sakit; kita tidak bisa menikmati pekerjaan bila selalu dihantui persoalan yang rasanya tak kunjung tuntas. Demikian juga anak, tak mungkin mereka bisa menikmati aktivitas bersekolah ketika mereka merasa kegiatan bersekolah tidak membuat nyaman akibat berbagai tekanan yang dialaminya. Apalagi bila aktivitas itu menguasai kehidupannya hingga saat liburan pun masih berurusan dengan tugas yang dibebankan guru, ditambah celoteh orangtua yang terus meminta mereka untuk belajar.
Biasanya guru memberi tugas saat liburan dengan alasan anak tidak akan belajar jika tidak diberi tugas. Pertanyaan saya, “Bukankah liburan itu memang saatnya istirahat dari segala kepenatan aktivitas sekolah?” Menjawab pertanyaan itu, ada guru yang berkata bahwa dia masih mengerjakan tugas saat liburan dan saya selalu saja mengatakan, “Kalau kamu memilih jadi guru dan membawa pulang pekerjaan, bukan berarti murid-murid itu harus melakukan hal yang sama. Mereka boleh saja punya pilihan sendiri, mau istirahat, bermain, atau tetap belajar saat liburan.”
Jadi kita tidak boleh memaksakan apa yang kita anggap baik kepada anak-anak. Sekalipun kita tahu si anak punya potensi yang sangat bisa dikembangkan. Jika hal itu dilakukan, saya lebih yakin bahwa anak tidak akan merasakan kebahagiaan akibat dari rasa tertekan. Ujungnya, hasil optimal yang diharapkan akan semakin jauh dari jangkauan. Walau begitu, bukan berarti kita tidak perlu melakukan apapun. Ada satu hal yang justru wajib kita lakukan agar anak mencapai hasil optimal sesuai potensinya. Satu hal untuk setiap sudut pandang.
Kalau Anda menilai anak berprestasi adalah kebutuhan, artinya anak berprestasi adalah aset guna meraih kebahagiaan, satu hal itu adalah: membuat anak membutuhkannya. Tidak ada orang lapar yang tidak berusaha mati-matian untuk mendapatkan makanan. Jadi agar anak mau melakukan apa yang Anda inginkan, Anda hanya perlu menciptakan kebutuhan itu dan dia dengan sendirinya akan berusaha mendapatkannya. Hasilnya, Anda tidak lagi perlu memaksa/ memarahinya agar ia melakukan apa yang Anda harapkan.
Jika Anda menilai anak berprestasi sebagai sebuah kebahagiaan, maka satu hal yang perlu Anda lakukan, yaitu: membimbing si Anak untuk mensyukuri apa yang dimiliki dengan merawat dan mengembangkan kelebihannya itu.
Sekarang kita bicara dampak yang dihasilkan tiap sudut pandang itu. Jika anda pakai sudut pandang kebutuhan, sangat mungkin Anda akan memacu anak demi mencapai puncak prestasi dan mendapatkan kebahagiaan dengan memenangkan persaingan. Dalam hal ini, anda perlu mempersiapkan diri untuk mengatasi persoalan yang akan Anda hadapi, di antaranya: Anak ternyata tidak memiliki potensi sebesar yang Anda harapkan. Anak mogok karena kejenuhan yang dirasakan sudah mencapai puncaknya. Resiko fisik lainnya, sang Anak meninggalkan Anda, dalam arti emosional dan/ atau fisik. Bunuh diri, adalah salah satu alternatifnya.
Jika berhasil menciptakan kebutuhan dan anak akhirnya melakukan apa yang Anda inginkan, jangan kaget ketika suatu saat Anda merasa dia jadi kurang ajar karena merasa hebat. Artinya, jika ini yang Anda rencanakan, coba pelajari dulu potensi anak sebenarnya, keinginan dan kebutuhan si anak, dan siapkan juga pendidikan moralnya agar dia benar-benar bisa menjadi seperti yang Anda harapkan.
Terakhir, Anda tetap perlu menyadari bahwa bukan Anda yang melakukan. Jadi keberhasilan sepenuhnya tergantung si anak, bukan Anda yang menentukan. Siapkan juga agar Anda tidak frustrasi ketika harapan itu tidak tercapai.
Sekarang, dampak apa yang kira-kira terjadi jika Anda mengacu pada sudut pandang kebahagiaan. Sangat mungkin anda akan memberi pilihan kepada anak dan membiarkan dia membuat keputusannya sendiri. Dasarnya, jelas karena Anda ingin anak Anda menikmati apa yang dimiliki dan dihasilkannya sehingga akhirnya bisa berkembang mencapai titik optimal.
Resikonya, Anda mungkin saja akan mendapati anak berganti-ganti aktivitas. Entah karena bosan atau merasa tidak mampu. Anda perlu mencermati hal ini karena intensitas rasa bosa dan/ atau kegagalan dapat membuat anak frustrasi. Jadi anda perlu mendampingi dengan memberi pengetahuan tentang pilihan yang ada secara memadai agar dia benar-benar mengerti apa yang akan dihadapi bila memilih yang ini dan apa yang terjadi jika pilih yang itu.
Dampak lainnya, Anda berorientasi pada mengelola apa yang dimiliki anak. Hal ini membuat Anda memiliki resiko frustrasi lebih sedikit dari mereka yang memandangnya sebagai kebutuhan. Anda mengajak anak untuk menikmati apa yang dimiliki, bukannya berusaha mendapatkan yang belum ada sehingga Anda cenderung tidak pasang target prestasi. Itu sisi lain yang perlu diperhatikan. Artinya, sudut pandang Anda tentang anak berprestasi mungkin membuat anak Anda terlihat tidak punya minat untuk berprestasi. Jangan sampai Anda akhirnya memarahi anak karena prestasinya tidak berada pada tingkat terbaik. Anak Anda sangat mungkin akan berada pada skala rata-rata atau rata-rata atas, tapi bukan terbaik karena tujuannya menikmati apa yang dia lakukan, bukan untuk menjadi yang terbaik. Itulah hasil terbaik yang dicapainya dan itu juga yang Anda targetkan, anak berbahagia atas apa yang dimiliki dan mensyukurinya dengan merawat serta mengembangkannya.
Apapun yang Anda inginkan, apa pun pendapat Anda tentang anak berprestasi, anak tetaplah seorang anak. Sebaiknya kita tidak menempatkan anak sejajar dengan orang dewasa karena anak jelas bukan orang dewasa berukuran mini. Anak punya dunianya sendiri dan kita wajib menghormatinya. Anak adalah manusia untuh dan unik yang juga punya hak asasi. Mari kita perlakukan anak sebagaimana diri kita juga ingin diperlakukan. Biar mereka belajar dari apa yang kita lakukan. Biar mereka mendapatkan pengetahuan, kebijakan, dan kebahagiaan dengan caranya sendiri.